Mencari Hubungan Ruam Kulit dan Gejala Virus Corona


Bolatangkas - Laporan ruam kulit pada pasien infeksi virus corona (Covid-19) bermunculan di beberapa negara. Namun masih terlalu dini untuk menyimpulkan ruam ini memang disebabkan virus corona jenis baru (SARS-CoV-2).

Seperti dikutip dari Livescience, laporan dari berbagai negara di dunia itu menunjukkan ruam bisa dalam berbagai bentuk--beberapa tampak seperti bintik-bintik merah kecil, lalu ada juga yang berupa lesi datar, atau lesi yang lebih besar. Sebagian lainnya menyerupai sarang lebah, tapi ada juga yang seperti jari kuku yang beku.

"Itu sungguh menimbulkan jutaan pertanyaan," kata dokter Kanade Shinkai, seorang profesor dermatologi di University of California yang juga pemimpin redaksi jurnal JAMA Dermatology dikutip Livescience.

Tidak jelas, apakah lesi kulit yang kami lihat dalam Covid-19 sebenarnya manifestasi langsung dari virus di kulit atau apakah itu pola reaksi karena sistem kekebalan tubuh yang umumnya meningkat, tutur Shinkai lagi.

Jurnal JAMA Dermatology yang terbit akhir April 2020 menulis, beberapa ruam boleh jadi disebabkan akibat komplikasi penyakit, reaksi obat-obatan, atau bahkan karena virus lain pada pasien koinfeksi. Unggahan di media sosial dan diskusi beberapa forum online meminta ahli kesehatan memperhatikan ruam kulit tersebut sebagai indikasi gejala.

"Sekarang saatnya untuk sains yang ketat," tulis para ahli dalam jurnal tersebut. Sebab masih banyak pertanyaan yang perlu dijawab, mulai dari seberapa umum ruam kulit tersebut hingga bagaimana hubungan dengan kondisi akhir pasien.

Laporan soal ruam pada kulit ini sebelumnya sempat ditemukan tim dokter di Spanyol dan Italia. Di Indonesia sendiri, salah satu dokter spesialis paru yang menangani pasien Covid-19, Erlang Samoedro mengaku belum pernah menjumpai kondisi tersebut pada orang dengan infeksi virus corona.

"Ruam kulit nggak pernah (menemui saat menangani pasien), kecuali ada penyakit kulit sebelumnya, kata Erlang saat dihubungi Studio Tangkas, beberapa waktu lalu.

Erlang menjelaskan, virus corona utamanya memang menyerang sistem pernapasan tapi bisa muncul pula kemungkinan efeknya ke bagian tubuh lain. Ia menerangkan, ruam kulit lazim muncul sebagai salah satu respons tubuh bergantung pada sensitivitas masing-masing pasien.

"Saya enggak tau kalau ruam kulit, beberapa pasien memang ada alergi, sehingga ketika ada infeksi dan ada inflamasi peradangan seluruh tubuh, termasuk kulit. Contoh anak saya sendiri, setiap flu demam selalu kulitnya merah karena alergi," jelas dia.

Termasuk kasus yang baru-baru ini dilaporkan di New York. Sebuah gejala misterius pada anak-anak dikaitkan dengan infeksi virus corona. Dokter yang merawat puluhan anak di rumah sakit menyebutnya sebagai pediatric multisystem inflammatory syndrome (sindrom inflamasi multisistem pediatrik).

Otoritas kesehatan New York meyakini kasus itu ada hubungannya dengan Covid-19. Orang tua di sana pun diminta waspada terhadap beberapa gejala pada anak seperti mual, muntah, diare, pucat, perubahan warna wajah, warna bibir, jari-jari berubah, dan nyeri dada.

Merespons kasus tersebut Erlang pun mengatakan keduanya memang bisa saja berkaitan, namun tetap perlu pembuktian terlebih dulu.

STUDIO TANGKAS adalah Agen Tangkas Online, Agen Poker Online, Agen Poker GLX
Dapatkan BONUS CASHBACK TANGKAS 10% UNLIMITED



Ahli epidemiologi penyakit menular, Tri Yunis Miko Wahyono menilai ruam kulit sebatas reaksi tubuh yang tak langsung berhubungan dengan virus corona. Sebagaimana reaksi tubuh lain seperti hilangnya indra perasa.

Pada infeksi penyakit lain, acap pula ditemukan kemunculan ruam kulit.

"Ini kan mukosanya terganggu di saluran pernapasan, termasuk di mulut. Mukosa mulut akan terganggu kemudian hilang indra perasanya. Pada beberapa orang, pada serangan mukosa di saluran pernapasan itu timbul ruam. Kalau orangnya alergi, itu bisa saja timbul ruam, kayak bintik-bintik merah begitu," terang Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia tersebut kepada CNNIndonesia.com.

Karena bukan gejala utama, maka menurut Tri Yunis, ruam kulit ini tak dialami seluruh pasien.

"Pada prinsipnya virusnya akan menyerang saluran pernapasan, tapi bisa juga berdampak ke akibat lagi misalnya diare, kehilangan indra perasa, ruam kulit. Tapi tidak semua orang mengalami ruam kulit, atau tidak semua orang juga kehilangan indra perasa, hanya orang-orang tertentu," imbuh dia.

Seberapa Umum?

Gejala berupa ruam kulit ditemukan pula pada penyakit virus lain seperti cacar air, campak dan penyakit tangan, kaki serta mulut. Tetapi menurut Shinkai, ruam ini lebih sering terlihat pada anak-anak.

"Itulah mengapa jauh lebih mengejutkan ketika melihat banyak laporan ruam pada pasien dewasa dengan Covid-19," tutur dia.

Kendati begitu, detail pasti berapa persisnya laporan ruam ini masih belum jelas. Sebuah penelitian awal yang diterbitkan Februari 2020 di New England Journal of Medicine mendapati ruam dialami 0,2 persen dari total 1.000 pasien Covid-19 di China yang diamati.

Sedangkan penelitian lebih baru terhadap 150 pasien Covid-19 di rumah sakit di Italia menemukan 20 persen di antaranya mengalami ruam. Studi belakangan para dokter kulit, yang terbit 26 Maret 2020 di Journal of European Academy of Dermatology and Venereology mengulas soal deteksi perubahan kulit.

Masih perlu lebih banyak penelitian untuk memastikan dan memberi gambaran utuh prevalensi ruam terkait Covid-19. Studi juga diperlukan untuk mengevaluasi secara komprehensif ruam-ruam tersebut dan kapan terjadinya. Sebab waktu gejala ruam dengan Covid-19 pun bervariasi mulai dari mendahului gejala umum hingga terjadi beberapa hari setelah penyakit, atau bahkan tak muncul hingga akhir perjalanan infeksi.

Kata Shinkai, dokter juga masih perlu memeriksa sampel jaringan untuk menentukan apakah virus SARS-CoV-2 dapat dideteksi di kulit yang mengalami ruam. Hal penting lain, tak peduli ruam itu berupa titik kecil atau lesi yang lebar, dokter perlu menelisik pengaruh ruam tersebut dihubungkan dengan tingkat keparahan gejala.

Di Amerika sendiri, untuk membantu dokter mempelajari lebih lanjut soal ruam dan Covid-19 ini, gugus tugas bersama American Academy of Dermatology telah membuat registrasi pencatatan online Covid-19 Dermatology. Sistem ini memungkinkan petugas kesehatan melaporkan temuan kelainan kulit yang diindikasi terkait penyakit ini. 



Posted by Studio Tangkas
Studio Tangkas | Agen Tangkas Online Indonesia

WhatsApp : +855 935 89 168

Comments

Popular posts from this blog

Mengenal Penyakit Asma dan Cara Menangkal Serangannya

Kelelawar, Hewan Pembawa 137 Virus Penyakit

Menstruasi alias haid tak jarang membuat hari-hari 'berwarna', boleh jadi mood yang naik-turun atau respons tubuh yang tak seperti biasanya. Bahkan jelang haid, perempuan kadang dibuat tidak nyaman karena kembung. Rasa tidak nyaman pada hari-hari sebelum haid tiba selalu dihubungkan dengan gejolak hormon. Anggapan ini tidak keliru. Kembung jadi efek dari fluktuasi hormon estrogen dan kadar hormon progesteron yang drop. Meggie Smith, spesialis kandungan-kebidanan, menuturkan saat kadar estrogen lebih tinggi, tubuh cenderung menahan air. "Progesteron, yang tinggi di paruh kedua siklus Anda, dapat membuat saluran pencernaan menjadi lebih lambat," kata Smith dikutip dari Women's Health Magazine. Perempuan biasanya mengalami kembung selama dua hari jelang haid. Namun ada pula yang sampai lima hari. Bagaimana cara mengatasinya? 1. Asupan makanan kaya potasium Perhatikan konsumsi makanan Anda. Isi piring dengan makanan dengan kandungan potasium atau kalium. Isabel Smith, ahli diet dan fitness di New York City menyarankan makanan tinggi potasium seperti pisang, tomat, blewah dan asparagus untuk membantu menyeimbangkan cairan tubuh. Selain itu, Anda juga bisa mengonsumsi makanan yang bisa berperan jadi diuretik alami seperti seledri, timun, semangka, dan jus lemon. Sherry Ross, ahli kesehatan perempuan di Providence Saint John's Health Center, berkata makanan ini ditambah bawang dan jahe bisa membuat tubuh terasa lebih ringan selama haid. 2. Hindari makanan pemicu gas Kembung bisa bertahan lebih lama akibat konsumsi makanan yang memicu gas. Barangkali jenis makanan seperti brokoli dan brussels sprout menginspirasi Anda untuk konsumsi makanan sehat, tetapi tidak untuk saat ini. Brokoli, kubis, kacang-kacangan, kembang kol juga brussels sprout mengandung gula kompleks yang disebut raffinose. Manusia tidak memiliki cukup banyak enzim untuk memecah jenis gula ini sehingga mengakibatkan kembung. Hal ini berpotensi memicu atau memperparah kondisi. 3. Kurangi kafein dan alkohol Jelang haid, sebaiknya Anda mengurangi atau bahkan menghindari kafein dan alkohol. Diana Bitner, spesialis kandungan di Michigan, mengatakan alkohol bisa memicu rasa tidak nyaman pada payudara, mood kacau dan kembung. "Dan kopi bisa menimbulkan stimulasi berlebihan pada saluran cerna dan mengiritasi perut, membuat Anda dehidrasi, yang mengakibatkan Anda menyimpan banyak air," imbuh dia. 4. Jauhi soda Ada sebagian yang meyakini konsumsi minuman bersoda bisa meredakan rasa tidak nyaman jelang haid. Namun Smith mengungkapkan, hal tersebut justru bisa membuat kembung semakin parah. Ini pun berlaku pada minuman berpemanis. "Jangan biarkan label-label yang menggunakan pemanis buatan membodohi Anda, mereka juga mengakibatkan kembung," kata Smith mengingatkan. Daripada minum minuman berpemanis atau bersoda, lebih baik minum air putih atau campur dengan peppermint untuk meredakan kembung. 5. Tak perlu konsumsi buah secara masif Saat perut kembung dan tidak nyaman, kadang terlintas untuk menambah konsumsi buah-buahan dan sayuran. Sebenarnya sah-sah saja dan bagus untuk kesehatan. Tetapi menambah porsi buah dan sayur selama masa haid malah membuat perut kembung. Sara Twogood, asisten profesor kebidanan dan ginekologi di University of Southern California Keck School of Medicine mengatakan kembung terjadi akibat tubuh tidak terbiasa dengan asupan serat yang banyak dan dalam waktu singkat.